Dunia Pendidikan Hadapi Reformasi Digital

Lupakan bagaimana seorang mahasiswa mengejar dosen walinya untuk meminta saran apakah semester berikutnya ia harus mengambil 12 SKS atau 21 SKS. Di sisi lain, juga lupakan bagaimana seorang dosen harus satu persatu mengecek absensi, membuka berkas yang sudah menjadi tumpukan tentang nilai tugas dan UTS untuk menentukan nilai akhir dari mahasiswa. Di tingkat sekolah menengah pun dengan jumlah kelas yang pararel guru telah berupaya mengambil langkah perubahan sehingga kendala mengatasi jumlah murid yang ratusan dapat dioptimalkan.
Hambatan-hambatan itu akan semakin teratasi seiring dengan reformasi digital yang sudah semakin lekat dengan dunia pendidikan. Sekarang ini tak perlu lagi susah payah datang ke kampus hanya untuk mengecek absensi ataupun mengejar dosen wali. Hubungan dosen dan mahasiswa sudah dimampatkan oleh teknologi digital sehingga meski keduanya terpisah ribuan mil, kegiatan akademik tetap harus berjalan seperti biasanya. Dosen sendiri sudah punya data lengkap tentang mahasiswanya, mulai dari kehadiran lengkap dari mulai jam berapa ia hadir dan jam berapa ia meninggalkan kelas, nilai tugas, UTS dan UAS, sampai ke nomor telfon dan nama orangtua memang dibutuhkan. Dengan data-data yang melimpah itu, tentu diharapkan kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif. Sekolah dasar dan menengah pun sekarang sudah berlomba menggunakan berbagai fasilitas untuk mempermudah berinteraksi dengan siswa mulai dari mengakses materi pembelajaran melalui online bahkan mengakses lulusan secara online.

Akrab dengan internet
Pelajar dan mahasiswa sudah jelas. Mereka berasal dari generasi milenial, generasi Y atau bahkan sebentar lagi generasi Z. Ciri-ciri generasi ini adalah akrab dengan internet dan teknologi digital sejak dini. Bahkan, kemampuan mereka dalam berinteraksi melalui media sosial bisa jadi lebih baik dari pada dosennya. Di sisi lain, generasi ini juga begitu muda berintaraksi, kosentrasi analog yang rendah, serta keinginan agar segala sesuatunya serbacepat. Psikolog Jean Twenge menyebut generasi ini sebagai generation me yang narsis berlebihan dan serba ketergantungan.
Di banyak sekolah dan kampus sekarang terus diberdayakan daya dukung digital di proses belajar-mengajar. Setiap dosen di anjurkan menggunakan media belajar digital dalam setiap pemaparannya, ditambah lagi dengan dorongan untuk membuat e-learning bagi masing-masing mata kuliah yang diampu. E-learning merupakan cara belajar mutakhir yang bisa membuat siswa belajar kapan pun dan di mana pun. Dengan kendali tempo ada pada siswa itu senidiri, e-laerning jelas bisa diserap dengan lebih baik. Siswa bisa mengatur bagian-bagian yang kurang ia pahami untuk diulang sampai mengerti.


Hemat Biaya

Bukana hanya e-learning yang dimungkinkan dengan permkembangan teknologi digital, tetapi juga distance learning. Dengan distance learning, siapa pun bisa mendapat pelajaran dari berbagai belahan dunia. Lebih hemat biaya dan tidak perlu keluar dana untuk transportasi dan akomodasi pembicaraan yang umumnya didatangkan dari negara-negara yang jauh seperti Eropa ataupun Amerika.
Ini belum termasuk dengan kemungkinan dunia hari ini untuk menghindarkan digital library yang terbuka bagi siapa saja untuk mengakses. Dengan teknologi perpustakaan terbuka ini, kampus mana pun menjadi punya komitmen untuk tidak hanya mencerdaskan civitas academica secara internal, melainkan juga pada masyarakat secara seluas – luasnya.
Kita harus menjadi wadah untuk menampung dan mengembangkan potensi-potensi mereka. Digitalisasi di dunia pendidikan adalah hal yang tidak hanya niscaya, tetapi juga fitrah dari zaman itu sendiri. Dunia pendidikan yang kita bicarakan bukan saja tingkat menengah dan atas, tetapi dimulai dari prasekolah, PAUD atau taman kanak-kanak sebagai penerus generasi millennial yaitu generasi z. (RinaDjunita Pasaribu, MSc, CPM (Asia).